Kaki itu semakin sering berjalan dihadapanku. Perlahan sering kuikuti derap langkahnya dari belakang tirai tanpa diketahui oleh Si Pemilik kaki jenjang itu. Sesaat sempat dia menoleh ke belakang, merasa keadaan sekitar tidak baik. Dia pantas merasa seperti itu, karna mataku tak pernah lepas menatapnya bahkan hingga bayangnya tak terlihat lagi. Meskipun begitu, aku rasa dia tak pernah peduli siapa yang mengganggunya dibalik tirai.
Seperti biasa, tak hanya kakinya
yang terlihat indah dalam pandanganku, namun kepalanya pun masih tetap
menengadah ke atas. Begitu tegap. Entah kenapa pemandangan itu seringkali
membuat aku tersenyum, berpikir dan kadang teramat menatap tiap kali aku
melihatnya. Aneh. Padahal dia tak sedikitpun pernah menoleh ke arahku.
Tak hanya saat dihadapanku aku
melihatnya. Kadang kutatap dia di jendela, menjelma embun atau semilir angin,
hingga tak kudapati dirinya dari pandanganku. Duduk, menengadah hingga berdiri
dan duduk kembali. Kucoba melihat kembali, kembali dan kembali. Berharap bisa
kudapati lagi sosoknya dibalik jendela yang tebal debu itu. Meski samar-samar,
aku pasti dapat melihatnya.
Dia adalah kamu. Manusia yang
sama yang aku cintai lebih dulu dibanding kamu yang mencintaiku. Kini dibalik pintu aku melihatmu. Focus,
tertawa, melirik. Dan lirikan itu seringkali membuatku takut akan kamu dapati
aku tengah memandangmu. Hitam, Abu, merah itu pakaian yang kamu pakai saat aku
melihatmu. Dan abu, yang aku ingat adalah pakaian yang kamu pakai saat aku
memutuskan untuk mencintaimu. Tak hanya sekedar mengagumi. Tak masalah bukan,
jika aku memutuskan hal seperti itu? Ya memang benar aku rasa. Itu hak ku sebagai manusia. Dan aku
memilihmu tanpa harus aku memaksa bahwa kau pun harus memilihku.
Di suatu acara, jantungku semakin
berdegup. Mengapa tidak?. Itu semua karena
kamu duduk di sampingku. Saat itu tatapanku begitu penuh harap. Tapi sayang, Hanya tatapanku yang nampak tak seperti biasa. Tidak dengan
kamu yang menatapku biasa-biasa
saja. Aku semakin kagum dan yakin. Kamu tak seperti kebanyakan mereka yang
memberikan harapan dan omong kosong. Aku menyukai sikap dinginmu.
Aku sungguh malu saat aku
memutuskan untuk benar-benar jatuh cinta. Aku malu ketika rasa itu memang
hadir. Aku sungguh malu pada keteranganku sendiri. Namun tidakkah lebih
memalukan jika aku memakan segala omong kosongku sendiri, seperti kubilang ‘aku
cinta kamu’ dan hanya terlantang di dalam hati. Oh, betapa memalukannya, aku
lebih memilih menggigit lidahku sendiri ketimbang mengakuimu mengagumkan.
Sudah seharusnya aku memohon
maaf atas semua tatapanku terhadap kamu. Mungkin akan banyak orang yang berkata,
“TAHU DIRILAH KAMU. KAMU TAK SEPADAN DENGAN DIA”. Ahh… biarlah saja. Aku tahu, aku sadar bahwa “Tahu diri itu perlu, dan sedikit rasa malu
itu tak kalah penting” tapi Biarkanlah tatapanku ini aku gantungkan
pada pengharapanku setiap kali aku melihatmu.
0 komentar:
Posting Komentar